Social Icons

Sabtu, 21 November 2015

Semesta Alam Menyambut Kelahiran Nabi Muhammad


Muhammad Rasulullah. Beliau adalah seorang manusia yang terpuji. Yang telah Allah siapkan untuk menghantarkan risalah, memberi kabar gembira, dan memberi peringatan. Sebagai manusia istimewa, kelahiran beliau pun istimewa.

Ibunda Muhammad, Aminah, mengatakan bahwa ketika mengandungnya dia tidak pernah merasakan kesulitan seperti yang umumnya dirasakan wanita hamil. Tahun kehamilan Aminah adalah tahun keberuntungan dan kebahagiaan. Sebelumnya, kaum Qurays mengalami kekeringan dan kesusahan luar biasa, tapi pada tahun itu bumi menghijau dan pohon-pohon nampak berbuah.

“Ketika aku mengandungnya,” kata Aminah, “aku bermimpi dari tubuhku keluar cahaya, membuat aku bisa melihat istana-istana kota Bushra di negeri Syam. Akhirnya, aku pun hamil. Tapi demi Allah, aku tidak pernah melihat suatu kehamilan yang terasa lebih ringan dan lebih mudah selain kehamilanku, dan terjadi sesuatu yang aneh ketika aku melahirkannya. Dia benar-benar meletakkan kedua tangannya di lantai dan mendongakkan kepalanya ke langit.”

Setelah melahirkan, Aminah mengutus seorang wanita memberitahukannya kepada ‘Abdul Muththalib. Wanita itu berkata kepada ‘Abdul Muththalib, “Wahai Abul Harits, Tuan telah mendapat cucu yang ajaib.”

“Apakah dia bukan manusia biasa,” tanya ‘Abdul Muththalib terkejut.
“Manusia,” kata wanita itu, “tetapi dia lahir sambil bersujud, kemudian mengangkat kepala dan kedua jarinya ke langit.

‘Abdul Muththalib datang dengan suka cita, lalu membawa Muhammad ke dalam Kabah, seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya.
Muhammad, itulah nama pemberian sang kakek.

“Mengapa Tuan memberinya nama seperti itu?” tanya seseorang kepada ‘Abdul Muththalib. “Padahal, tidak ada seseorang pun nenek moyang yang bernama seperti itu.”
“Sesungguhnya,” jawab sang kakek, “aku berharap dia akan menjadi pujaan seluruh bumi.”

Saat kelahirannya, banyak keajaiban yang terjadi. Singgasana Kisra bergetar dan empat belas balairung istananya roboh. Ini sebuah petunjuk bahwa raja-raja yang akan berkuasa secara kejam di Persia tinggal empat belas orang lagi sejak saat itu. Dan ternyata benar, 10 orang di antara mereka mati dalam 4 tahun, dan 4 orang sisanya mati satu demi satu, sampai dengan yang terakhir tewas pada masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan.

Kejadian lainnya yaitu keringnya danau Thabariyah di Palestina, pertanda bahwa penduduk di sana mengalami kekeringan hebat. Yang lainnya yaitu padamnya api (sesembahan) di Persia, yang konon belum pernah padam selama seribu tahun. Demikian, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Abu Nu’man, Al-Khara’ithi dalam Al-Hawatif, dan Ibnu Asakir.

Kejadian-kejadian luar biasa yang mengiringi kelahiran Rasulullah tersebut diungkapkan Syuqrathisi dalam sebuah syair:

Kelahirannya disambut benderang cahaya
Di segenap penjuru cakrawala
Bisikan-bisikan ghaib lembut terus kedengaran
Memberi kabar gembira dalam keceriaan
Sementara, istana-istana Kisra, tercerabut dari tiang-tiangnya
Miring, lalu roboh berkeping-keping
Api sesembahan di Persia, tidak lagi menyala
Padahal seribu tahun lamanya tak padam jua
Juga, tak lagi mengalir sungai mereka
Kelahirannya disambut tersungkurnya patung-patung berhala
Panah-panah api menembus gelap malam, melempari jin dan setan


Referensi:
Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’anil ‘Adzim. Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir. 2012. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i)

Ridho, Muhammad. Muhammad. Terjemahan: Sirah Nabawiyah. 2010. Bandung: Penerbit Irsyad Baitus Salam)

Al-Mubarakfury, Shafiyyurrahman. Ar-Rahiqul Makhtum. Terjemahan: Sirah Nabawiyah. 2010. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar


Peristiwa Tahun Gajah


Inilah Tahun Gajah. Tahun tatkala Abrahah mengirimkan pasukan gajah untuk menghancurkan kabah. Namun, justru merekalah yang dihancurkan. Dilempari oleh burung Ababil dengan batu-batu kecil yang membara hingga mereka tampak seperti daun-daun yang dimakan ulat.

Syahdan, tatkala Abrahah sampai di Thaif, setelah menaklukkan siapapun orang Arab yang berani menghalanginya, dia mengirim seorang Habasyah bernama Al-Aswad bin Maqshud ke Mekkah. Utusan Abrahah tersebut menjarah harta benda penduduk Mekkah, di antaranya ada 200 ekor milik ‘Abdul Muththalib. Hasil jarahan tersebut dibawa ke hadapan Abrahah.

Abrahah mengirim utusan ke Mekkah. “Tanyakan siapa pemimpin dan pembesar negeri ini!” perintah Abrahah kepada utusannya.

Di Mekah, utusan tersebut mendapat jawaban, “’Abdul Muththalib”. Bertemulah utusan tersebut dengan ‘Abdul Muththalib.

“Sesungguhnya raja kami berpesan,” kata utusan itu kepada ‘Abdul Muththalib, “kami datang bukan untuk memerangi kalian. Kami hanya akan menghancurkan kabah.”

Demikianlah memang, Abrahah hanya berniat menghancurkan kabah tanpa mengusik penduduk Mekkah. Lalu apa jawaban pemimpin penduduk Mekkah?

“Demi Allah,” kata ‘Abdul Muththalib, “kami pun tidak akan melawannya. Kami tidak punya kekuatan untuk itu. Ini adalah rumah Allah yang mulia dan rumah khalil-Nya, Ibrahim. Kalau Allah membela rumah-Nya dari serangan rajamu, itu memang rumah-Nya dan milik-Nya yang mulia. Akan tetapi, kalau Allah membiarkannya dihancurkan oleh rajamu, maka demi Allah, kami tidak punya kemampuan untuk membelanya.”

‘Abdul Muththalib menyadari kekuatan Abrahah dengan tentara gajahnya. Tak mungkin penduduk Mekkah bisa menahan serangan pasukan Abrahah. Ia pun menyerahkan nasib kabah kepada pemiliknya, yaitu Allah.

‘Abdul Muththalib datang menemui Abrahah. Begitu melihat ‘Abdul Muththalib, Abrahah memberi hormat dan memuliakannya. Abrahah turun dari singgasananya dan duduk di atas hamparan, berdampingan dengan ‘Abdul Muththalib. Lalu, terjadilah perbincangan antara dua pemimpin tersebut.

“Apa keperluan Anda?” tanya Abrahah.
‘Abdul Muththalib menanyakan unta-unta miliknya yang dijarah utusan Abrahah. Ia ingin miliknya tersebut dikembalikan.

Abrahah terhenyak. Disangkanya, ‘Abdul Muththalib akan membincangkan Kabah dan memohon kepadanya agar tidak menghancurkan Kabah. Abrahah pun memandang rendah kepada ‘Abdul Muththalib karena hanya mementingkan unta-untanya dan tidak mempedulikan Kabah.

“Tadi aku benar-benar kagum kepada Anda, ketika aku melihat Anda,” kata Abrahah. “Tapi setelah Anda berbicara barusan, aku tidak tertarik lagi kepada Anda. Mengapa Anda membicarakan soal dua ratus ekor unta yang aku rampas dari Anda, dan tidak peduli dengan Bait (Kabah) yang merupakan agama Anda dan agama nenek moyang Anda? Aku datang kali ini benar-benar untuk menghancurkannya. Mengapa Anda sama sekali tidak membicarakan sola rumah itu?”

“Saya ini pemilik unta-unta itu,” kata ‘Abdul Muththalib. “Adapun rumah itu ada pemiliknya yang akan melindunginya.”

Itulah jawaban ‘Abdul Muththalib. Ia yakin bahwa Allah akan melindungi rumah-Nya. Ia sendiri merasa tidak mampu melindungi Kabah, meski seluruh penduduk Mekah berdiri di sampingnya. Ia pun hanya melindungi apa yang ia mampu, yaitu unta-unta miliknya. Kabah ialah milik Allah. Allah pasti melindunginya. Begitu keyakinan ‘Abdul Muththalib.

Abrahah mengembalikan unta-unta milik ‘Abdul Muththalib, kemudian bersiap-siap untuk memasuki Mekah dan menghancurkan Kabah.

‘Abdul Muththalib menyuruh penduduk Mekah untuk mengungsi agar tidak menjadi korban pasukan Abrahah. Bersama beberapa orang Qurays, ‘Abdul Muththalib berdiri dan memegang ambang pintu Kabah. Mereka berdoa kepada Allah memohon pertolongan dan perlindungan.

‘Abdul Muththalib mengumandangkan sebuah syair:
Tidak ada kebimbangan. Sesunggunya seseorang telah
mempertahankan rumahnya, karenanya pertahanlah rumah-Mu.
Kekuatan dan tipu daya mereka tidak akan pernah dapat
mengalahkan tipu daya-Mu untuk selamanya.

Pagi harinya, tatkala Abrahah bersama pasukannya telah bersiap-siap, tiba-tiba datanglah burung-burung Ababil dari arah Laut Merah. Masing-masing burung tersebut membawa tiga butir batu: satu butit di paruh dan dua butir di kedua cakar kakinya.

Burung-burung Ababil melempari pasukan Abrahah dengan batu. Siapa pun yang terkena batu tersebut tidak ada yang selamat. Sebagian besar pasukan Abrahah tewas, sedangkan sebagian kecil selamat dan melarikan diri, termasuk Abrahah. Abrahah yang terluka bersama beberapa pasukannya melarikan diri ke Yaman. Kemudian Abrahah tewas di sana.
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong. Yyang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al-Fil: 1-5)

Itulah peristiwa besar di Tahun Gajah. Pada tahun itu pula terjadilah peristiwa besar lainnya. Yaitu kelahiran Nabi Muhammad, tepatnya pada hari Senin, 9 Rabi’ul Awal. Dalam penanggalan Masehi bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April 571 M.

***
Referensi:
Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’anil ‘Adzim. Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir. 2012. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i

Ridho,
Muhammad. Muhammad. Terjemahan: Sirah Nabawiyah. 2010. Bandung: Penerbit Irsyad Baitus Salam)

Al-Mubarakfury,
Shafiyyurrahman. Ar-Rahiqul Makhtum. Terjemahan: Sirah Nabawiyah. 2010. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)


Nasab, Kelahiran, dan Masa Pertumbuhan Abu Bakar Ash-Shiddiq


Nama dan nasab Abu Bakar yaitu Abu Bakar Abdullah ibn Abi Quhafah ibn Amir ibn Amr ibn Ka’ab ibn Sa’ad ibn Taim ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay ibn Ghalib, ibn Fihr Al-Quraisyi At-Tamimi.

Nama asli Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) adalah Utsman. Nama ibunya adalah Ummul Khair Salma binti Sakhr ibn Amir binti Ka’ab ibn Sa’ad ibn Taim ibn Murrah ibn Ka’ab. Nasabnya dari jalur ayah dan ibunya bertemu dengan Rasulullah pada Murrah ibn Ka’ab, yaitu kakek keenam Abu Bakar dan Rasulullah.

Abu Bakar dilahirkan dua tahun beberapa bulan setelah kelahiran Rasulullah. Ibnu Hajar mengatakan Abu Bakar dilahirkan dua tahun enam bulan setelah tahun Gajah.
Abu Bakar sudah menjadi sahabat Rasulullah sejak sebelum beliau diutus menjadi Rasul. Abu Bakar sering ke rumah Rasulullah dan berbincang-bincang di sana. Konon, dia diberi nama kun-yah Abu Bakar karea dia selalu bersegera melakukan hal-hal terpuji.
 
Abu Bakar tinggal di Mekkah. Ia keluar kota hanya untuk keperluan berdagang. Sejak remaja Abu Bakar bekerja sebagai pedagang pakaian. Usaha dagangnya sukses. Keberhasilanya dalam perdagangan mungkin saja disebabkan oleh pribadi dan wataknya. Abu Bakar berperawakan kurus, putih, dengan sepasang bahu yang kecil, dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas –begitulah dilukiskan oleh putrinya, Aisyah.

Abu Bakar memiliki perangai yang lemah lembut dan sikapnya tenang, pandangannya jernih, serta pikirannya tajam. Kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang buruk tidak diikuti olehnya. Di masa jahiliyah, Abu Bakar adalah orang yang paling bisa menjaga kehormatannya. Ia tak pernah melakukan hal tak terpuji dan adat yang buruk. Abu Bakar mengharamkan dirinya dari khamr. Ia tak pernah meminumnya sedikitpun.

Abu Bakar tumbuh sebagai pemuda yang berakhlak mulia dan berkepribadian baik. Ia memiliki harta yang banyak, memiliki kharisma, memiliki kebaikan dan keutamaan di antara kaumnya. Ia dikenal sebagai orang yang mulia, baik, dan pemurah. Ia tergolong pembesar, pemuka, dan salah satu pemimpin Quraisy.

Ibnu Hisyam mengatakan dalam kitab Sirah-nya, “Abu Bakar adalah laki-laki yang akrab di kalangan masyarakatnya, disukai karena ia serba mudah. Ia dari keluarga Quraisy yang paling dekat dan paling banyak mengetahui seluk-beluk kabilah, yang baik dan yang buruk. Ia seorang pedagang dengan perangai yang sudah cukup terkenal. Karena suatu masalah, pemuka-pemuka masyarakatnya sering datang menemuinya, mungkin karena pengetahuannya, karena perdagangannya, atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak.”

Kemuliaan Abu Bakar ini dipersaksikan oleh Ibnu Daghinah sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari. Saat permulaan Islam pada peristiwa hijrah ke Ethiopia, Abu Bakar berniat ikut berhijrah. Namun, ia dicegah oleh Ibnu Daghinah. Ibnu Daghinah tidak menginginkan Abu Bakar meninggalkan Mekkah.

Ibnu Daghinah mengatakan, “Orang sepertimu, wahai Abu Bakar, tidak boleh keluar dan tidak boleh dikeluarkan (dari Mekkah) karena engkau memberikan sesuatu pada orang yang tidak mereka dapatkan pada orang lain, menjalin hubungan (silaturahim), tak bisa dianggap remeh, menghormati orang yang lemah, dan memberi bantuan pada hal yang telah terjadi dan akan terjadi. Aku melindungimu, kembalilah dan sembahlah Tuhanmu di negerimu.”

***
Referensi:
Al-Quraibi, Ibrahim. Asy-Syifa fi Tarikh Al-Khulafa. Terjemahan: Farid Khairul Anam. 2009. Tarikh Khulafa’. Jakarta: Qisthi Press

Haekal, Muhammad Husain. Ash-Shiddiq Abu Bakar. Terjemahan: Ali Audah. 2014. Cetakan ke-13. Abu Bakar As-Sidiq: Sebuah Biografi. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa




Ridho, Muhammad. Muhammad. Terjemahan: Abu Farhan. 2010. Sirah Nabawiyah. Bandung: Penerbit Irsyad Baitus Salam



 
Blogger Templates